JAKARTA, KP – Ketika sehelai kain disulam menjadi kebaya, ia tak sekadar menjadi busana yang melekat di tubuh perempuan. Di dalamnya terpatri sejarah panjang, narasi keteguhan, serta ekspresi dari sebuah identitas yang tak lekang oleh zaman. Dalam menyambut Hari Kebaya Nasional yang jatuh pada 24 Juli, gema tentang pentingnya kebaya sebagai simbol budaya kembali digaungkan. Tak lagi sebagai artefak masa lalu, kebaya kini hadir sebagai penanda sikap dan ruang ekspresi perempuan Indonesia yang modern, sadar, dan bangga akan akar budayanya.
Penetapan Hari Kebaya Nasional melalui Keputusan Presiden No. 19 Tahun 2023 menjadi tonggak penting yang menegaskan kedudukan kebaya sebagai warisan budaya tak benda yang merekatkan ragam identitas etnis di Indonesia. Di tengah semangat pelestarian ini, Bakti Budaya Djarum Foundation kembali menghidupkan narasi kebaya dalam bentuk yang lebih segar dan emosional: sebuah film pendek bertajuk #KitaBerkebaya. Karya ini akan dirilis serentak pada 24 Juli 2025 melalui kanal YouTube Indonesia Kaya, mengajak publik untuk menyelami kembali makna kebaya sebagai bagian dari keseharian dan perjuangan perempuan Indonesia.
Bagi Renitasari Adrian, Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation, kebaya tidak cukup hanya dikenang lewat bingkai foto lawas atau etalase museum. Ia harus dihidupkan, dikenakan, dan dirasakan. Dalam pandangannya, kebaya adalah bahasa yang tak diucapkan, namun dapat dimengerti—bahasa yang mempersatukan perempuan lintas latar belakang dan wilayah.
“Dalam perayaan Hari Kebaya Nasional ini kita tidak hanya membicarakan tentang sehelai kain indah, tapi juga membicarakan identitas, sejarah, dan peran perempuan dalam perjalanan bangsa ini,” ujarnya. “Melalui #KitaBerkebaya, kami ingin kembali mengingatkan bahwa kebaya adalah jati diri yang mempersatukan, mencerminkan keanggunan sekaligus ketangguhan perempuan Indonesia. Kami ingin kebaya kembali menjadi bagian dari rutinitas—dari pasar hingga panggung, dari rumah hingga ruang rapat—dan ikut memberdayakan pelaku ekonomi kreatif dari hulu ke hilir.”
Film pendek berdurasi beberapa menit ini tidak menggurui. Ia justru memilih untuk berbicara dengan bahasa yang lembut namun menyentuh—bahasa visual yang merekam kebaya sebagai saksi bisu dari perjalanan perempuan Indonesia, dari masa ke masa. Disutradarai oleh Bramsky, film ini bukan sekadar ode kepada tradisi, melainkan juga panggilan untuk terus bergerak maju tanpa tercerabut dari akar.
“Kami ingin orang melihat bahwa kebaya adalah entitas yang hidup, yang bisa mengekspresikan emosi—marah, lembut, keras kepala, penuh kasih—seperti perempuan itu sendiri,” ujar Bramsky. “Kebaya bukan sekadar benda mati. Ia adalah narasi yang dikenakan. Film ini menjadi ruang tempat perempuan bersuara, tidak lewat teriakan, tapi melalui benang dan kain yang dibawa dengan penuh keyakinan.”
Tak kurang dari 250 perempuan terlibat dalam produksi film ini. Mereka berasal dari komunitas-komunitas yang selama ini konsisten menjunjung budaya, seperti Kebaya Menari, Abang None Jakarta, Lestari Ayu Bulan dari Bali, Putra Putri Batik, hingga para peserta program Intensif Musikal Budaya dari berbagai pelosok negeri. Deretan nama besar dari dunia seni dan hiburan turut ambil bagian, seperti Maudy Ayunda, Maudy Koesnaedi, Tara Basro, Dian Sastrowardoyo, Eva Celia, Raihanun, Titi Radjo Padmaja, Andien, hingga Lutesha. Bukan sebagai bintang utama, tetapi sebagai bagian dari narasi kolektif tentang perempuan yang memilih untuk tetap bersuara melalui warisan yang mereka kenakan.
Dalam wawancara khusus, Maudy Ayunda menyampaikan pandangan personalnya yang menggetarkan, “Bagi saya, kebaya adalah ruang perlawanan yang lembut, tapi tegas. Kita tidak selalu perlu meninggikan suara untuk menyampaikan pendapat, karena kadang, apa yang kita kenakan sudah cukup bicara. Kebaya adalah sikap. Ketika kita mengenakannya dengan sadar, kita sedang memilih untuk berdiri dalam sejarah, tapi pada saat yang sama tetap melangkah ke masa depan.”
Di tengah arus globalisasi yang deras dan gaya hidup instan yang terus mendikte fesyen, kebaya tidak menyerah. Ia mungkin tak selalu tampil di catwalk Paris atau Milan, tapi kebaya hadir dalam momen paling personal dan bersejarah dalam hidup banyak perempuan Indonesia—di hari pernikahan, saat kelulusan, dalam perayaan keagamaan, atau bahkan ketika memperjuangkan hak di ruang publik. Melalui film ini, pesan itu ditegaskan: bahwa mengenakan kebaya adalah tindakan yang penuh kesadaran dan makna.
Lebih dari sekadar menghidupkan kembali tradisi, #KitaBerkebaya berusaha membangkitkan kesadaran kolektif tentang potensi besar kebaya dalam membentuk ekonomi berbasis budaya. Di balik setiap helai kebaya, ada tangan-tangan pembatik, penenun, penjahit, hingga perancang busana lokal yang menggantungkan harapannya pada pelestarian warisan ini. Ketika kebaya kembali dikenakan sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari, bukan hanya identitas budaya yang dirawat, tetapi juga rantai ekonomi yang diberdayakan.
“Semoga #KitaBerkebaya dapat menggugah lebih banyak perempuan untuk kembali menjadikan kebaya sebagai bagian dari keseharian mereka. Bukan karena kewajiban budaya, tapi karena mereka merasa memiliki. Karena saat kita memilih untuk mengenakan kebaya, kita sedang merayakan siapa diri kita sebagai perempuan Indonesia dengan segala kekuatan, keindahan, dan kompleksitasnya,” tutup Renitasari dengan harapan yang menyala.
Hari Kebaya Nasional bukan sekadar penanda tanggal di kalender. Ia adalah ajakan untuk kembali merangkul identitas dan memakainya dengan bangga. Di tengah dunia yang terus berubah, kebaya menjadi pengingat bahwa ada hal-hal yang tak boleh dilepaskan: akar, sejarah, dan jati diri. Dan perempuan Indonesia, dalam segala keragamannya, kini memilih untuk menyuarakan itu—dengan anggun, dengan berani, dan dengan kebaya.(*/Red)