Post Top Ad

Kombis

Teknologi

Post Top Ad

BPKP KalbarKalbarKorupsiPontianak

BPKP Soroti Perencanaan dan Penganggaran Buruk sebagai Pemicu Risiko Korupsi di Kalbar

PONTIANAK, KP - Perencanaan dan penganggaran yang belum optimal kembali menjadi sorotan tajam dalam upaya pencegahan korupsi di Kalimantan Barat. Kepala Perwakilan BPKP Provinsi Kalimantan Barat, Rudy, mengungkapkan bahwa kelemahan dalam perencanaan dan pengelolaan anggaran di tingkat daerah secara nyata meningkatkan potensi penyimpangan dan praktik korupsi. Hal tersebut disampaikan Rudy dalam pemaparan hasil evaluasi perencanaan dan penganggaran BPKP tahun 2025 di Kalbar yang digelar secara daring oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Rabu. 
 

Dalam pemaparannya, Rudy menekankan pentingnya efisiensi dalam alokasi anggaran, sejalan dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam pelaksanaan APBN dan APBD. Menurutnya, tantangan terbesar dari efisiensi bukan hanya pada pemangkasan angka, melainkan pada ketepatan dalam mengalokasikan dana untuk mendukung program prioritas secara efektif dan berdampak langsung kepada masyarakat.

Hasil evaluasi BPKP menunjukkan adanya kesenjangan alokasi anggaran yang cukup signifikan antar daerah dan sektor. Sebagai contoh, anggaran sektor kesehatan di Kabupaten Kubu Raya tercatat mencapai Rp298,42 miliar, jauh lebih tinggi dibandingkan Kabupaten Sekadau yang hanya mengalokasikan Rp2,93 miliar. Ketimpangan ini tidak hanya terjadi di sektor kesehatan, tetapi juga pada pengentasan kemiskinan, di mana beberapa daerah mendapat alokasi besar, sementara daerah lain minim perhatian. Menurut Rudy, disparitas tersebut mencerminkan belum adanya standar intervensi yang seragam di tingkat daerah.

Lebih lanjut, evaluasi juga mengungkapkan bahwa banyak sub-kegiatan dalam rencana anggaran daerah yang dinilai tidak relevan, tidak logis, atau tidak mampu menjawab tujuan yang ingin dicapai. Di sektor pendidikan, misalnya, anggaran mayoritas difokuskan pada aspek aksesibilitas, sementara mutu pendidikan mendapat alokasi yang sangat kecil. Hal ini memunculkan risiko gagalnya pencapaian target pembangunan di bidang pendidikan. Di sektor pengentasan kemiskinan, alokasi anggaran juga cenderung besar untuk bantuan sosial yang bersifat jangka pendek, sementara porsi untuk program peningkatan pendapatan seperti pelatihan dan kewirausahaan masih minim.

Temuan-temuan ini, jelas Rudy, dapat menjadi bahan penting bagi KPK dalam mengembangkan sistem pengawasan dan surveilans risiko korupsi di tingkat daerah. Ia menegaskan bahwa pembenahan sistem perencanaan dan penganggaran bukan semata untuk efisiensi fiskal, tetapi juga merupakan instrumen pencegahan korupsi yang paling mendasar.

Sebagai tindak lanjut, BPKP memberikan sejumlah rekomendasi strategis kepada pemerintah daerah. Pertama, diperlukan penyelarasan ulang terhadap sasaran strategis daerah, termasuk indikator dan targetnya, agar terintegrasi dari level OPD hingga pemerintah daerah. Kedua, intervensi program dan kegiatan perlu dilakukan secara vertikal melalui cascading maupun horizontal melalui integrasi lintas OPD, guna memperkuat sinergi antarunit kerja. Ketiga, hasil evaluasi BPKP harus digunakan sebagai dasar dalam pergeseran anggaran, dengan mengedepankan kegiatan yang berkontribusi langsung pada program unggulan nasional serta mendukung capaian indikator kinerja kepala daerah.

Rudy juga mengingatkan peran penting Kepala Bappeda sebagai garda terdepan dalam proses perencanaan. Ia menegaskan bahwa Bappeda tidak boleh sekadar menjadi kompilator usulan program, melainkan harus mampu mengambil sikap tegas dalam menolak usulan kegiatan yang tidak logis dan tidak mendukung pencapaian tujuan pembangunan daerah.

Dengan evaluasi ini, BPKP berharap dapat mendorong terciptanya tata kelola keuangan daerah yang lebih transparan, efisien, dan akuntabel, serta menjauhkan daerah dari potensi praktik korupsi yang merugikan masyarakat.(*/Red)

Baca Juga

Post Top Ad