Kasus SP3 Polda Kalbar, Kuasa Hukum Urai Wisata–Muda Mahendrawa Ungkap Dugaan Surat Kuasa Palsu dan Keterangan Palsu di Praperadilan

Kuasa hukum Urai Wisata dan Muda Mahendrawa, Rizal Karyansah menjelaskan terkait praperadilan kasus SP3 Polda Kalbar kepada awak media

PONTIANAK,KP - Kuasa hukum Urai Wisata dan Muda Mahendrawa, Rizal Karyansah, menilai terdapat dugaan keterangan palsu serta penggunaan dokumen yang tidak sah dalam putusan praperadilan terkait penghentian penyidikan atau SP3 yang diterbitkan Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Kalimantan Barat. Penilaian tersebut disampaikannya saat memberikan keterangan kepada awak media pada Senin (22/12/2025).

Rizal yang bertindak sebagai kuasa hukum Urai Wisata, mantan Direktur Utama PDAM, sekaligus kuasa hukum Muda Mahendrawa, mantan Bupati Kubu Raya, menjelaskan bahwa praperadilan yang diajukan oleh pihak Natalia telah dilakukan sebanyak tiga kali. Praperadilan pertama pada tahun 2024 dengan Nomor 14 dinyatakan tidak diterima, praperadilan kedua pada tahun 2025 dinyatakan ditolak, sedangkan praperadilan ketiga justru dikabulkan oleh hakim tunggal.

“Terhadap putusan praperadilan, tentu kami menghormati karena sifatnya final. Namun di sisi lain, produk hukum berupa SP3 yang diterbitkan Polda Kalbar juga harus dihormati dan dipertahankan,” ujar Rijal.

Menurutnya, setelah mempelajari secara mendalam putusan praperadilan tersebut, pihaknya menemukan adanya keterangan saksi yang disampaikan di bawah sumpah, namun dinilai tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya. Saksi yang dihadirkan oleh pemohon, kata Rijal, memberikan keterangan yang bertentangan dengan fakta hukum yang dialami langsung oleh kliennya.

“Atas keterangan tersebut, klien kami Urai Wisata telah melaporkan dugaan pemberian keterangan palsu di persidangan ke Polda Kalimantan Barat dan saat ini masih dalam proses,” jelasnya.

Selain dugaan keterangan palsu, Rijal juga menyoroti keberadaan surat kuasa yang tercantum dalam putusan praperadilan, tepatnya pada halaman 47 dengan bukti P-43. Surat kuasa tersebut seolah-olah menunjukkan adanya pemberian kuasa dari pihak tertentu kepada Iwan Darmawan.

“Namun setelah dikonfirmasi, Iwan Darmawan menyatakan tidak pernah menerima ataupun memberikan surat kuasa tersebut. Bahkan hari ini kami mendengar yang bersangkutan telah membuat laporan polisi terkait dugaan pemalsuan surat dan penggunaan surat palsu,” katanya.

Rijal menegaskan bahwa akar persoalan perkara ini bermula dari perjanjian pribadi antara Urai Wisata dan Iwan Darmawan, tanpa melibatkan pihak lain. Dalam perjanjian tersebut, tidak pernah disebutkan nama Natalia maupun entitas lainnya. Karena terjadi wanprestasi, Iwan Darmawan kemudian membuat laporan polisi pada 20 Mei 2022. Dalam laporan tersebut, Iwan Darmawan tercatat sebagai pelapor sekaligus korban, sementara Natalia hanya berstatus sebagai saksi.

Seiring berjalannya proses hukum, lanjut Rijal, dilakukan musyawarah dan perdamaian antara para pihak yang berkepentingan, yakni Iwan Darmawan, Urai Wisata, dan Muda Mahendrawa. Dalam kesepakatan perdamaian itu, hak Iwan Darmawan senilai Rp1,5 miliar telah dipenuhi secara penuh.

“Atas dasar perdamaian itu, Iwan Darmawan mencabut laporan polisi pada 14 Agustus, yang kemudian menjadi dasar penerapan restorative justice dan diterbitkannya SP3 oleh penyidik,” ungkap Rijal.

Ia menegaskan bahwa dalam seluruh rangkaian proses hukum tersebut, Natalia tidak memiliki hubungan hukum langsung, baik sebagai pelapor, korban, maupun sebagai pihak dalam perjanjian perdamaian. Nama yang bersangkutan, kata dia, tidak tercantum dalam laporan polisi, tidak ada dalam kesepakatan damai, tidak ada dalam perjanjian, serta tidak pernah diperiksa sebagai saksi korban.

“Tidak ada namanya di laporan polisi, tidak ada di kesepakatan damai, tidak ada di perjanjian, dan tidak pernah diperiksa sebagai saksi korban. Maka secara hukum, perdamaian hanya dilakukan dengan pihak yang berkompeten, yakni Iwan Darmawan,” tegasnya.

Rijal menilai dikabulkannya praperadilan ketiga dengan objek perkara yang sama menimbulkan pertanyaan serius dari sisi kepastian dan konsistensi hukum. Terlebih lagi, menurutnya, muncul dugaan rekayasa hukum berupa penggunaan surat kuasa palsu serta keterangan palsu di persidangan.

“Jika benar terbukti adanya rekayasa hukum, baik berupa surat palsu maupun keterangan palsu di bawah sumpah, maka tentu putusan tersebut patut dipertanyakan secara hukum karena lahir dari proses yang tidak sempurna,” pungkasnya. (Rif)

Kapuas Post

Kapuas Post merupakan media lokal Kalimantan Barat yang mencoba eksis kembali menjadi media online

Lebih baru Lebih lama

ads

Pasang Iklan Kapuas Post

ads

نموذج الاتصال