PONTIANAK, KP - Kota Pontianak, yang dikenal sebagai Kota Khatulistiwa, tidak hanya memikat dengan garis lintang nol derajatnya, tetapi juga dengan kekayaan kuliner yang menggoda lidah.
Di antara beragam sajian khasnya, dua hidangan pencuci mulut tradisional menonjol karena cita rasa dan keunikan budayanya Ce Hun Tiau dan Es Bongko. Keduanya bukan sekadar pelepas dahaga di tengah teriknya cuaca Pontianak, tetapi juga simbol pertemuan budaya dan kearifan lokal yang hidup dalam keseharian masyarakatnya.
Ce Hun Tiau membawa nuansa Tionghoa yang kental dalam setiap sendokannya. Terbuat dari tepung sagu yang kenyal, sajian ini biasanya dipadukan dengan kacang merah lembut, ketan hitam yang legit, cincau segar, serta siraman santan kental yang gurih. Perpaduan rasa manis dan gurih berpadu harmonis, menciptakan sensasi lembut yang menenangkan di tenggorokan.
Ce Hun Tiau membawa nuansa Tionghoa yang kental dalam setiap sendokannya. Terbuat dari tepung sagu yang kenyal, sajian ini biasanya dipadukan dengan kacang merah lembut, ketan hitam yang legit, cincau segar, serta siraman santan kental yang gurih. Perpaduan rasa manis dan gurih berpadu harmonis, menciptakan sensasi lembut yang menenangkan di tenggorokan.
Keistimewaan Ce Hun Tiau terletak pada tekstur kacang merahnya yang begitu empuk hingga seolah meleleh di mulut, menjadikan hidangan ini favorit tak hanya bagi warga lokal, tetapi juga wisatawan yang datang mencari cita rasa autentik Pontianak.
Berbeda dengan Ce Hun Tiau, Es Bongko yang juga dikenal dengan sebutan Ati Pari menawarkan pesona yang lebih sederhana namun tak kalah memikat. Awalnya, Es Bongko hanya terdiri dari kue Bongko yang terbuat dari campuran tepung hijau pandan. Kini, evolusi selera membawa tambahan bahan pelengkap seperti potongan nangka manis, sagu mutiara, dan cincau hitam.
Berbeda dengan Ce Hun Tiau, Es Bongko yang juga dikenal dengan sebutan Ati Pari menawarkan pesona yang lebih sederhana namun tak kalah memikat. Awalnya, Es Bongko hanya terdiri dari kue Bongko yang terbuat dari campuran tepung hijau pandan. Kini, evolusi selera membawa tambahan bahan pelengkap seperti potongan nangka manis, sagu mutiara, dan cincau hitam.
Kuah santan yang lembut berpadu dengan gula merah cair menghasilkan rasa manis-gurih yang khas dan menyegarkan. Setiap suapan Es Bongko menghadirkan kenangan akan suasana pasar tradisional, di mana aroma gula merah dan pandan berpadu di udara.
Kedua sajian manis ini bukan hanya tentang rasa, melainkan juga tentang identitas dan kebanggaan daerah. Ce Hun Tiau dan Es Bongko menjadi representasi keberagaman budaya yang menyatu di Pontianak sebuah kota yang sejak lama dikenal sebagai titik pertemuan berbagai etnis dan tradisi.
Kedua sajian manis ini bukan hanya tentang rasa, melainkan juga tentang identitas dan kebanggaan daerah. Ce Hun Tiau dan Es Bongko menjadi representasi keberagaman budaya yang menyatu di Pontianak sebuah kota yang sejak lama dikenal sebagai titik pertemuan berbagai etnis dan tradisi.
Melalui kekayaan kuliner ini, masyarakat setempat tak hanya menjaga warisan leluhur, tetapi juga memperkenalkannya kepada dunia sebagai bagian dari daya tarik wisata kuliner Indonesia.
Dengan meningkatnya minat wisatawan terhadap kuliner lokal, Ce Hun Tiau dan Es Bongko memiliki potensi besar untuk menjadi ikon kuliner Pontianak.
Dengan meningkatnya minat wisatawan terhadap kuliner lokal, Ce Hun Tiau dan Es Bongko memiliki potensi besar untuk menjadi ikon kuliner Pontianak.
Upaya pelestarian dan promosi kedua hidangan ini bukan sekadar mengenalkan makanan, tetapi juga memperkuat citra Pontianak sebagai kota dengan karakter rasa yang unik dan tak terlupakan.
Di setiap sendok Ce Hun Tiau dan tegukan Es Bongko, tersimpan cerita panjang tentang sejarah, budaya, dan rasa manis khas Khatulistiwa yang selalu mengundang untuk kembali menikmatinya.(*/Red)