JAKARTA, KP - Di tengah arus zaman yang terus berubah, suara Raden Ajeng Kartini kembali menggema, tidak sebagai gema masa lalu, melainkan sebagai suara yang hidup dan bernapas dalam ruang kini. Melalui pementasan bertajuk Terbitlah Terang: Pembacaan Surat dan Gagasan Kartini, Titimangsa bersama Bakti Budaya Djarum Foundation menghadirkan sebuah persembahan sastra dan suara yang menyelami gagasan, gejolak batin, dan semangat perubahan dari tokoh perempuan paling berpengaruh dalam sejarah Indonesia ini. Digelar di Museum Nasional Indonesia, pertunjukan ini menjadi penghormatan yang tak hanya mengenang, tetapi menghidupkan kembali api pemikiran Kartini yang terus relevan lintas generasi.
Dengan format pembacaan monolog yang intim dan menggugah, pementasan ini menyatukan para seniman lintas generasi: Christine Hakim, Ratna Riantiarno, Reza Rahadian, Marsha Timothy, Maudy Ayunda, Lutesha, Cinta Laura, Chelsea Islan, Happy Salma, hingga Bagus Ade Putra. Di bawah arahan sutradara Sri Qadariatin, mereka membacakan surat-surat Kartini yang ditulis lebih dari seabad lalu, namun tetap menyuarakan keresahan dan harapan yang akrab di hati masyarakat masa kini.
Pementasan dibuka dengan prolog Ratna Riantiarno, menghadirkan konteks historis penyusunan surat-surat Kartini yang selama ini menjadi sumber inspirasi intelektual dan emosional bagi bangsa. Kemudian satu per satu seniman membacakan bagian surat yang menggambarkan dimensi-dimensi mendalam dari pemikiran Kartini—tentang pendidikan, kebebasan, keadilan sosial, kesetaraan gender, hingga ketidakadilan sistemik. Dengan ketulusan dan kekuatan ekspresi, para pembaca tidak sekadar menghidupkan teks, tetapi juga mengajak penonton merasakan denyut nurani seorang perempuan muda yang berani bermimpi dan bersuara jauh melampaui zamannya.
Renitasari Adrian, Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation, dalam sambutannya menegaskan bahwa pementasan ini bukan sekadar mengenang Kartini sebagai simbol emansipasi, melainkan mengajak generasi muda untuk merefleksikan keberanian dalam berpikir dan berempati. Baginya, surat-surat Kartini adalah undangan untuk bertanya kembali: sejauh mana kita telah berjalan bersama cita-citanya untuk dunia yang lebih adil dan setara?
Sementara itu, Happy Salma selaku pendiri Titimangsa dan narator dalam epilog pementasan menyampaikan refleksi mendalam tentang kemanusiaan dalam diri Kartini. Ia menyebut Kartini sebagai sosok yang merdeka dalam berpikir dan utuh dalam merasa—sebuah cermin bagi siapa pun yang mencari makna dalam suara hati dan keberanian bersuara. Pembacaan surat-surat ini, katanya, adalah cara untuk menapaki ruang batin Kartini yang tidak hanya menyuarakan cita-cita perempuan, tetapi juga menggugat tatanan sosial yang timpang dan membungkam.
Surat-surat yang dibacakan dalam pementasan ini diambil dari dua karya penting: Panggil Aku Kartini Saja karya Pramoedya Ananta Toer dan Kartini: Kumpulan Surat-surat 1899–1904 karya Wardinam Djoyonegoro. Salah satu surat paling awal yang dikirim Kartini kepada Estelle “Stella” Zeehandelaar, aktivis feminis di Belanda, menjadi titik tolak dari jalinan pemikiran yang menggugah. Melalui korespondensi tersebut, Kartini tak hanya menunjukkan kecerdasannya, tetapi juga keberaniannya menggugat realitas—menyuarakan kerinduannya pada kebebasan, pendidikan, dan kesetaraan di tengah sistem yang membatasi gerak perempuan.
Kritik sosial Kartini juga disampaikan melalui surat-surat kepada pasangan Abendanon, yang selama ini dikenal sebagai pendukung besar perjuangannya. Dalam surat-surat tersebut, Kartini menyampaikan keresahan atas ketimpangan sosial, kebijakan pemerintah kolonial, hingga masalah ekonomi dan lingkungan, menjadikan dirinya bukan hanya simbol emansipasi, tetapi juga pemikir tajam yang memikirkan nasib bangsanya secara utuh.
Kalimat “Panggil aku Kartini…” menjadi nyawa utama dalam pementasan ini, membuka ruang perenungan atas isi-isi surat yang sarat dengan amarah, cinta, harapan, dan kerinduan akan masa depan yang lebih adil. Dalam format yang puitis dan menyentuh, suara Kartini hadir sebagai bisikan yang lantang, menggema dari masa lalu ke masa kini, menembus ruang-ruang batin penonton yang hadir.
Pementasan Terbitlah Terang ini juga menjadi bagian dari pembukaan pameran SUNTING: Jejak Perempuan Indonesia Penggerak Perubahan, yang digelar di Museum Nasional Indonesia mulai 22 April hingga 31 Juli 2025. Mengangkat simbol sunting hiasan kepala yang merepresentasikan martabat dan kekuatan perempuan pameran ini menelusuri kontribusi perempuan dalam membentuk arah sejarah dan peradaban bangsa, mulai dari tokoh-tokoh seperti Rohana Kudus hingga Kartini sendiri. Dengan pendekatan kuratorial yang reflektif, SUNTING mengajak pengunjung merenungkan peran perempuan tidak hanya dalam sejarah, tetapi juga dalam perjuangan masa kini menuju kesetaraan dan kemanusiaan.
Melalui pementasan dan pameran ini, Kartini tidak hanya dikenang, tetapi dihidupkan kembali bukan sebagai lambang masa lalu yang kaku, melainkan sebagai cahaya yang terus menuntun arah pemikiran dan perjuangan di masa depan. Karena suara Kartini, seperti terang yang lahir dari kejujuran dan keberanian, akan selalu menemukan jalannya untuk menyentuh zaman.(*/Red)