JAKARTA, KP – Euforia libur Natal dan Tahun Baru (Nataru) kerap diiringi peningkatan aktivitas belanja dan transaksi digital masyarakat. Namun di balik geliat ekonomi tersebut, ancaman penipuan daring atau scam justru menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Indonesia Anti-Scam Center (IASC) mencatat, selama hampir satu tahun terakhir, total kerugian akibat penipuan digital telah mencapai Rp8,2 triliun, dengan tingkat penyelamatan dana korban masih sangat rendah, yakni di bawah 5 persen.
Menjelang libur panjang Nataru, masyarakat Indonesia diproyeksikan membelanjakan hingga Rp120 triliun untuk berbagai kebutuhan perjalanan, akomodasi, dan konsumsi. Lonjakan transaksi ini menjadi momentum yang dimanfaatkan para pelaku kejahatan siber untuk melancarkan aksinya.
Data IASC menunjukkan, sejak November 2024 hingga 30 November 2025, terdapat 373.129 laporan penipuan atau rata-rata 874 laporan setiap hari. Dari lebih dari 619 ribu rekening yang terindikasi terkait penipuan, hanya sekitar 117 ribu rekening yang berhasil diblokir.
Founder & Group CEO VIDA, Niki Luhur, menegaskan bahwa identitas digital kini menjadi pintu utama keamanan finansial masyarakat.
Menurutnya, masih banyak pengguna yang mengandalkan sistem pengamanan lama yang justru mudah dieksploitasi. “Dengan rata-rata 874 laporan penipuan setiap hari, kita tidak bisa lagi bergantung pada metode tradisional seperti OTP berbasis SMS yang sangat rentan dibobol,” ujarnya.
Periode liburan Nataru dinilai menjadi “waktu panen” bagi para penipu karena beberapa faktor. Data VIDA menunjukkan sekitar 80 persen pembobolan akun terjadi akibat kelemahan OTP berbasis SMS serta praktik phishing. Ironisnya, teknologi yang selama ini dianggap sebagai lapisan pengaman justru menjadi celah terbesar bagi kejahatan digital.
Ancaman tersebut semakin kompleks dengan munculnya modus penipuan berbasis kecerdasan buatan.
Sepanjang 2025, penipuan menggunakan teknologi AI deepfake melonjak hingga 1.550 persen di Indonesia. Pelaku memanfaatkan teknologi AI voice cloning untuk meniru suara keluarga, atasan, atau figur otoritas lain, lalu meminta korban segera mentransfer dana. Suara yang dihasilkan bahkan diklaim nyaris sempurna dan sulit dibedakan dari aslinya.
Skala kerugian akibat penipuan juga tercermin dari data Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Modus penipuan melalui panggilan telepon palsu mencatat hampir 40 ribu laporan dengan kerugian mencapai Rp1,54 triliun. Penipuan belanja daring menyusul dengan lebih dari 64 ribu laporan dan kerugian Rp1,14 triliun, sementara investasi bodong menelan kerugian sekitar Rp1,40 triliun dari hampir 25 ribu laporan.
Situasi diperparah oleh lambatnya pelaporan dari korban. Di Indonesia, rata-rata korban baru melapor sekitar 12 jam setelah kejadian, jauh tertinggal dibanding negara lain yang umumnya melaporkan dalam rentang 15 hingga 20 menit.
Keterlambatan ini membuat peluang pelacakan jejak digital dan penyelamatan dana semakin kecil, sehingga hanya 4,76 persen dana korban yang berhasil diamankan.
Bank Indonesia, OJK, serta Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) sebelumnya juga telah mengingatkan masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan, khususnya terhadap penipuan yang menargetkan identitas digital.
Menyikapi hal tersebut, VIDA mengimbau masyarakat agar lebih berhati-hati dalam bertransaksi selama libur Nataru, antara lain dengan menghindari penggunaan jaringan Wi-Fi publik untuk keperluan perbankan, selalu memverifikasi permintaan mendesak melalui kanal resmi, serta tidak mudah terpancing tekanan waktu yang kerap digunakan pelaku penipuan.
VIDA juga mendorong masyarakat untuk mulai beralih ke sistem autentikasi yang lebih kuat, seperti biometrik, dibandingkan OTP berbasis SMS yang rentan disusupi.
Menurut perusahaan penyedia solusi identitas digital tersebut, penguatan keamanan digital tidak hanya penting saat musim liburan, tetapi harus menjadi kesadaran berkelanjutan demi menciptakan ekosistem transaksi digital yang aman, nyaman, dan tepercaya bagi seluruh lapisan masyarakat. (*/Red)

